SEJARAH DAN
KEUTAMAAN PUASA ASYURA
Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid’ah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang Yahudi.
Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid’ah di dalamnya. Adapun yang dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang Yahudi.
“Orang-orang
Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukannya pada masa jahiliyyah. Tatkala
beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan
umatnya untuk berpuasa.” [1]
“Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau melihat
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya :”Apa ini?”
Mereka menjawab :”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah
menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu
sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah menjawab :”Aku lebih berhak
terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu
sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” [2]
Dua hadits
ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di masa jahiliyah,
dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya.
Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau temukan orang-orang Yahudi berpuasa
pada hari itu, maka Nabi-pun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.
Diriwayatkan
pada hadits lain.
“Artinya :
Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa
pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”[3]
“Artinya :
Abu Musa berkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan
mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulllah Shallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu” [4]
“Artinya
:Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari Asyura,
maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada
tahun kemarin” [5]
CARA
BERPUASA DI HARI ASYURA
[1]. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:
[1]. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:
“Selisihilah
orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya.”
Dan pada
riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:
“Puasalah
pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah
kalian menyerupai orang Yahudi.”
Namun di
dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (dalam
Zaadud Ma’al 2/76):”Ini adalah derajat yang paling sempurna.” Syaikh Abdul Haq
ad-Dahlawi mengatakan:”Inilah yang Utama.”
Ibnu Hajar
di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara ini. Dan
termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram)
adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury
dalam Ma’arifus Sunan 5/434
Namun
mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan untuklebih
hati-hati.Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad
yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan
dalam menentukan awal bulan.
[2].
Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Mayoritas Hadits menunjukkan cara ini:
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”[6]
Mayoritas Hadits menunjukkan cara ini:
“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat.”[6]
Dalam
riwayat lain :
“Artinya : Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan.”[7].
“Artinya : Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan.”[7].
Al-Hafidz
Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :”Keinginan beliau untuk berpuasa pada
tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa pada
tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari kesepuluh. Kemungkinan
dimaksudkan untuk berhati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi
dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan
sebagian riwayat Muslim”
“Artinya :
Dari ‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata:”Selisihilan Yahudi, berpuasalah
pada tanggal 9 dan 10”.
[3].
Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram
“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”
Hadits marfu’ ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):
[a]. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
[b]. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
[c]. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu’
“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”
Hadits marfu’ ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):
[a]. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
[b]. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
[c]. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu’
Jadi hadits
di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan al-Ma’tsurah karya
As-Syafi’i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.
Ibnu Rajab
berkata (Lathaiful Ma’arif hal 49):”Dalam sebagian riwayat disebutkan atau
sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena keraguan dari perawi atau
memang menunjukkan kebolehan….”
Al-Hafidz
berkata (Fathul Baari 4/245-246):”Dan ini adalahl akhir perkara Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka
menyocoki ahli kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal
itu menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam
menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits
shahih. Maka ini (masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama
kali beliau menyocoki ahli kitab dan berkata :”Kami lebih berhak atas Musa
daripada kalian (Yahudi).”, kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab,
maka beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli
kitab.”
Ar-Rafi’i
berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :”Berdasarkan ini, seandainya tidak
berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa pada tanggal 11″
[4].
Berpuasa pada 10 Muharram saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :”Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a’lam.”
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :”Puasa Asyura mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a’lam.”
BID’AH-BID’AH
DI HARI ASYURA
[1]. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
[2]. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
[3]. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
[4]. Membakar kemenyan.
[5]. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
[6]. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Syarif)
[7]. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
[8]. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
[9]. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):”Adapun pernyataan sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid’ah.”
[1]. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
[2]. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
[3]. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
[4]. Membakar kemenyan.
[5]. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
[6]. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Syarif)
[7]. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
[8]. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
[9]. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):”Adapun pernyataan sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram) untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid’ah.”
Ibnu Rajab
berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran memberikan uang belanja
lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan namun tidak ada
satupun yang shahih. Di antara ulama yang mengatakan demikian adalah Muhammad
bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”.
Adapun mengadakan ma’tam (kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul)
sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin
Ali Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat di
dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan RasulNya tidak
pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir atau wafat para nabi
maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain mereka”
Pada saat
menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, Al-Hafidz Ibnu Qayyim
(al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata : “Hadits-hadits tentang
bercelak pada hari Asyura, berhias, bersenang-senang, berpesta dan sholat di
hari ini dan fadhilah-fadhilah lain tidak ada satupun yang shahih, tidak
satupun keterangan yang kuat dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain
hadits puasa. Adapun selainnya adalah bathil seperti.
“Artinya :
Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya
Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.
Imam Ahmad
berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits bercelak, memakai
minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat oleh tukang dusta.
Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan hari Asyura sebagai hari
kesedihan dan kesusahan. Dua goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang
dari As-Sunnah. Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang
diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi
bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”.
Adapun
shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/29 berkata :
“Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil Asy-Syaukani dalam
Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal senada juga diucapkan oleh Al-Iraqi dalam
Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam Al-Maudlu’ah 2/122
Ibnu Rajab
berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang menerangkan keutamaan
bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura adalah maudlu (palsu) tidak
sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
secara marfu.
“Artinya :
Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun
itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.
Hadits ini
adalah buatan para pembunuh Husain.
Adapun
hadits,
“Artinya : Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”
“Artinya : Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”
Maka ulama
seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu
(palsu).
Hadits ini
diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam Syu’abul Iman
7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana dinukil As-Suyuthi dalam
Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata : “Bercelak di hari Asyura tidak ada satu pun
atsar/hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah bid’ah
yang dibuat oleh para pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu.
Demikianlah
sedikit pembahasan tentang hari Asyura. Semoga kita bisa meninggalkan
bid’ah-bid’ahnya. Amin
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H-2001M. Penerbit Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
__________
Foote Note
[*]. Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali
[1]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253
[2]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928
[3]. Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if.
[4]. Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289
[5]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297, 308, 311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285
[6]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391
[7]. Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain
[8]. Abdurrazaq 4/287, Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 2/78, Baihaqi dalam Sunan Kubra 4/287 dan dalam Syu’abul Iman 3509 dari jalan Ibnu Juraij, Atha telah mengabariku …. Sanadnya shahih. Ada juga muttabi dalam riwayat Qasim Al-Bhagawi dalam Al-Hadits Ali Ibnil Ja’di 2/886 dengan sanad shahih
[9]. Hadits Dhaif, riwayat Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2095, Thahawi 2/78, Bazar 1052 dalam Kasyfil Atsar, Baihaqi 4/278, Thobary dalam Tahdzibul Atsar 1/215, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3/88
__________
Foote Note
[*]. Diolah oleh Aris Munandar bin S Ahmadi, dari kitab Rad’ul Anam Min Muhdatsati Asyiril Muharram Al-Haram, karya Abu Thayib Muhammad Athaullah Hanif, tahqiq Abu Saif Ahmad Abu Ali
[1]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 3/454, 4/102-244, 7/147, 8/177,178, Ahmad 6/29, 30, 50, 162, Muslim 2/792, Tirmidzi 753, Abu Daud 2442, Ibnu Majah 1733, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/319,320, Al-Humaidi 200, Al-Baihaqi 4/288, Abdurrazaq 4/289, Ad-Darimy 1770, Ath-Thohawi 2/74 dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 5/253
[2]. Hadits Shahih Riwayat Bukhari 4/244, 6/429, 7/274, Muslim 2/795, Abu Daud 2444, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/318, 319, Ahmad 1/291, 310, Abdurrazaq 4/288, Ibnu Majah 1734, Baihaqi 4/286, Al-Humaidi 515, Ath-Thoyalisi 928
[3]. Hadits Riwayat Ahmad 2/359-360 dengan jalan dari Abdusshomad bin Habib Al-Azdi dari bapaknya dari Syumail dari Abu Hurairah, Abdusshomad dan bapaknya keduanya Dha’if.
[4]. Hadits Shahih Riwayat Bukahri 4/244, 7/274, Muslim 2/796, Nasa’i dalam Al-Kubra 2/322 dan Al-Baihaqi 4/289
[5]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/818-819, Abu Daud 2425, Ahmad 5/297, 308, 311, Baihaqi 4.286, 300 Abdurrazaq 4/284, 285
[6]. Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-Kabir 10/391
[7]. Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224, 236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya 3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain
[8]. Abdurrazaq 4/287, Thahawi dalam Syarh Ma’anil Atsar 2/78, Baihaqi dalam Sunan Kubra 4/287 dan dalam Syu’abul Iman 3509 dari jalan Ibnu Juraij, Atha telah mengabariku …. Sanadnya shahih. Ada juga muttabi dalam riwayat Qasim Al-Bhagawi dalam Al-Hadits Ali Ibnil Ja’di 2/886 dengan sanad shahih
[9]. Hadits Dhaif, riwayat Ahmad 1/241, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 2095, Thahawi 2/78, Bazar 1052 dalam Kasyfil Atsar, Baihaqi 4/278, Thobary dalam Tahdzibul Atsar 1/215, Ibnu Adi dalam Al-Kamil 3/88
0 komentar:
Posting Komentar